Arkeologi Bawah Laut Nusantara
Oleh CAHYO JUNAEDY
Foto oleh ADHI PERWIRA
Laut Indonesia dikenal sebagai lumbung harta karun. Sayang, perangkat hukum belum kuasa membendung penjarahan.
Siang itu, mendung menggayut di langit perairan laut Karang Delapan, sebuah gugusan karang di Bangka selatan, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung (Babel). Sejak subuh, hujan tak kunjung usai.
Sebelum saya menyelam, muka laut tampak tenang. Sesaat setelah saya terjun, terasa arus di bawah riak air begitu kuat, membuat saya cemas dan meremas tali buoy—seutas tali ber¬ujung jangkar yang dipancang sebelum menyelam—semakin erat. Menyelam ke dasar, arus semakin liat. Samar-samar, di kedalaman 30 meter terlihat alas laut berupa samudra pasir dan gugusan karang, serta gundukan-gundukan batu tak beraturan dengan berbagai tumbuhan laut yang berebut hidup.
Lokasi penyelaman ini dijajaki lantaran selama hampir tiga bulan tim dari Direktorat Peninggalan Bawah Air (DPBA), Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala mencium anomali kandungan logam dari sekitar Karang Delapan. Saat dilakukan survei permukaan laut dengan alat magnetometer—pelacak medan magnet yang biasa dipancarkan logam—sinyalnya terendus di lokasi ini. Sinyal tersebut harus dikonfirmasi: apakah betul itu merupakan jejak kapal karam atau hal lain. Karena, biasanya, kapal paling sederhana dan tua sekalipun memiliki elemen berbahan logam.
Setelah berputar selama 10 menit, apa yang kami buru pun muncul. Di atas gugusan karang panjang, salah satu anggota tim yang menggapit pendeteksi logam terkejut. Suara alat pendeteksi ini semakin mengganggu gendang telinga saat kami berenang di ujung gugusan karang.